Monday, December 28, 2015

Rajah Jampe Pangasalan Manusa (5)

Rajah Jampe Pangasalan Manusa ini menceritakan tentang asal manusia dan proses menjadi manusia secara biologis. Rajah ini dibuka dengan menggunakan kata syahadat yang kemudian dilanjutkan dengan proses pernikahan dan nasihat selama menikah, sampai akhirnya persatuan kedua manusia melahirkan anak/manusia lainnya. 

Saat menikah, do'a dilantunkan untuk menjadikan pasangan hidup seadat. Dimana yang tua mengerjakan keteladanan dan yang muda berbakti menjalankan. Sifat dari Ibu dan Bapak akan menentukan sifat dari anaknya kemudian. 

Dalam proses menjadi manusia, rajah menceritakan garis besar jadinya anak, dari mulai persatuan sel telur dan sel sperma (yang dituliskan dalam kata madi dan mani), hingga menjadi satu. Selanjutnya, disebutkan bahwa setiap bulan, janin mengalami perkembangan. Hal ini sesuai dengan ilmu pengetahuan medis di jaman sekarang, yang salah satu informasinya dapat dilihat di http://www.ibu-hamil.web.id/2015/01/gambar-tahapan-perkembangan-janin-per-bulan.html . Dengan memperbandingkan dengan perkembangan ilmu medis jaman sekarang, penulis tergelitik membayangkan, bagaimana orang di jaman dulu (rajah ini dikembangkan dari tahun 8 Masehi), dapat mengetahui perkembangan janin tanpa alat bantu berteknologi canggih yang dapat melihat perkembangan janin di dalam rahim. 

Pertanyaannya disimpan saja dulu ^_^

Di dalam rajah ini, perkembangan janin tiap bulannya mengacu pada kalendar hijriyah/hitungan bulan, bukan masehi. Sehingga jumlah bulan untuk melahirkan anak yang disebutkan adalah 10 bulan. 

Yang menarik di dalam rajah ini, kata 'utusan' dipakai untuk menyebutkan bayi yang baru lahir. Utusan yang lahir karena kasih sayang dan perwujudan dari Tuhan Yang Maha Kasih dan Sayang dan Yang Maha Kuasa. Tanpa kasih, sayang, dan kekuasanNya, utusan tidak akan lahir ke dunia. 


               Sumber foto: kicaukisah.wordpress.com 

Berikut kata-kata dalam rajah ini.

Kalimah kali kalimah syahadat
(Kalimat kali kalimat syahadat)

Jalma dua jadi hiji, jadi sa adat, nyaeta nyatana nikah
(Manusia dua menjadi satu, jadi seadat, yaitu ternyatakan dalam nikah)

Wong tua gawe wiwitan
(Yang tua mengerjakan keteladanan)

Wong enom darma lakoni
(Yang muda berbakti menjalankan)

Sipate abang saking Si Biang
(Sifat melindungi mengikuti Sang Ibu)

Sipate putih saking Si Bapa
(Sifat putih mengikuti Sang Bapa)

Yaiku getih jadi sewiji
(Yaitu darah menjadi satu)

Hiji wadi disebut cai madi
(Satu wadi disebut air madi)

Cai nu kapindo ngaran mani
(Air yang biasa disebut mani)

Nu katilu nateh
(Itu yang ketiga)

Nu ka opat maningkem deui
(Yang ke empat menyatu lagi)

Sabulan keur kumambang
(Sebulan sedang mengambang)

Dua bulan keur lumegang
(Dua bulan sedang menumbuh/membesar)

Tilu bulan kumunyu ngaran
(Tiga bulan sudah bisa dilihat bagian besarnya)

Opan bulan keur mangrupa
(Empat bulan sedang merupa/terlihat bentuk manusia)

Lima bulan mengusik alus
(Lima bulan bergerak halus)

Genep bulan conggeang larang

Tujuh bulan asihan si raja murta
(Tujuh bulan kasih si raja murta)

Tepi ka dalapan, salapan tumpak di baga
(Sampai ke delapan, sembilan menunggang di baga/sudah berdiri siap melahirkan)

Sapuluh gancangna medal goredag
(Sepuluh singkatnya lahir ke dunia)

Budak ngagoler campur mani dina cupu astagina
(Anak tergeletak bercampur mani di cupu astagina/mulut vagina)

Ayeuna utusan parantos ngawujud
(Sekarang utusan sudah mewujud)

Nyuhunkeun asihan Gusti safa’atna Dinu Kawasa
(Memohon kasih Gusti yang bersifat Maha Kuasa)

Mangka welas mangka asih
(Maka memiliki kasih dan sayang)

Khususna ka ...[1]
(Khususnya ke...)

Jembarna ka urang sadaya
(Umumnya kepada kita semua)

Reureug Pageuh Teguh Rahayu
(Lega, kuat, teguh, rahayu)



[1] Tanda titik-titik tersebut ditujukan dengan membacakan nama seseorang yang mempunyai hajat atau acara kegiatan
(Sumber: Buku Rajah Sumedang, Darsum Dipa Atmaya, dituliskan oleh Agus Mulyana, 2014)




Saturday, December 26, 2015

Rajah Amitan Ka Sajarah Sumedang (4)

Rajah ini berjudul Amitan Ka Sajarah Sumedang yang membahas cuplikan sejarah Sumedang dan sebagai tawasul kepada tokoh utama di Sumedang masa lampau. Dalam rajah ini, persembahan do'a diberikan pada para pemimpin di alam makrokosmos dan unsur kepemimpinan yang ada di dalam diri (mikrokosmos). Dalam perspektif rajah ini, pemimpin adalah orang yang memiliki iman, telah menyatu dengan makna syahadat, telah digariskan dan mendapatkan rahmat dari Tuhan. Dalam menerapkan sifat kepemimpinan, dijelaskan bahwa manusia bermain mengikuti aturan. Mempertimbangkan hal-hal tabu dan menyebarkan kasih sayang. 

Penyampaian do'a ini ditujukan menembus alam nyata dan alam gaib. Dari alam manusia, ke alam neraka sampai surga, ke alam lapis tujuh, sampai singgasana sakala domas. Dalam perspektif sunda, sakala domas adalah parahyangan/tempat hyang-hyang berada atau tempat suci (Engkong, 2015). 

Selain itu, dalam rajah ini, do'a ditujukan juga kepada unsur yang ada di dalam diri. Penggunaan kata aki dan nini yang ada di dalam diri adalah kakek dan nenek moyang, figur maskulin dan feminim yang telah ada di dalam jiwa. Menurut pandangan saya, dari sudut pandang modern, bagian diri yang mewakili ini adalah unsur-unsur gen yang ada dalam tubuh, warisan nenek moyang tiap orang. Dalam bagian berikutnya, do'a dipersembahkan pada 'Ratu weruh tanpa guru', yang juga ada dalam diri. Ratunya kekuatan yang ada dan hadir tanpa ada gurunya. Ditambahkan lagi, persembahan do'a diberikan pada ruang yang melingkupi jiwa manusia.



Prabu Daniswara, Resi Agung Aria Bimaraksa, Prabu Aji Putih, Prabu Tajimalela[1]

Tetep bayu sampurna ning iman
(Teguh angin sempurna inti iman)

Tetep bayu ning syahadat rasa
(Teguh angin inti syahadat rasa)

Sri ayana saking kudratulloh
(Bagus adanya karena kudratulloh/garis takdir Allah)

Sri ayana saking rohmatulloh
(Bagus adanya karena rahmatullah/rahmat dari Allah)

Sri maya di Buana Pancatengah

Pundut larang, pundut asih, asihan Sri Rambut Sadana
(Membawa tabu, membawa kasih, kasih Sri Rambut Sadana)

Kanjeng sinuhun panghaturkeun dahar
(Mempersembahkan terima kasih dengan menyertakan makan)

Ngirim sari menta rasa
(Mengirimkan sari meminta rasa)

Amengan ngiring aturan
(Bermain ikut aturan)

Dzat sipat kanyataan Gusti Rosululloh
(Dzat sifat kenyataan Gusti Rasulullah)

Pang nepikeun hadiah kaula
(Tolong sampaikan hadiah saya)

Ti naraka nepi ka sawarga
(Dari neraka sampai ke surga)

Ka jongjing tujuh
(Ke alam tujuh)

Gedong sakala domas
(Gedung sakala domas)

Ka nini wijiling sukma
(Ke nenek |unsur feminim tua| di dalam sukma)

Ka aki wijiling sukma
(Ke kakek |unsur maskulin tua| di dalam sukma)

Ratu weruh tanpa guru
(Ratu sakti tanpa guru)

Ka kandang kali sukma
(Ke wadah dan sukma)

Ka Eyang Anta Boga bin Abiyasa bin Adam
(Ke Eyang Anta Boga bin Abiyasa bin Adam)

Reureug Pageuh Teguh Rahayu[2]
(Lega kuat teguh rahayu)





[1] Pada bagian ini merupakan bentuk tawasul empat orang tokoh atau leluhur utama. Dalam rangka kepentingan masuknya pengaruh Islam, maka pada kalimat pertama bisa diubah menjadi: “Abu Bakar – Umar – Usman – Ali, Syech Sayidina Ali tetep bayu sampurna ning iman” dan seterusnya. Jika ruwatan dilakukan di luar Sumedang, misalnya di daerah Galuh (Ciamis), maka kalimat rajah juga disesuaikan dengan sejarah Galuh, sehingga tawasulan kepada empat tokoh pokok leluhur Galuh pada kalimat pertama menjadi “Prabu Permanadikusuma, Prabu Linggawangi, Prabu Niskala Wastu Kancana, Maha Prabu Cipta Permana, tetep bayu sampurna ning iman” dan seterusnya.
[2] Untuk kepentingan pengaruh ajaran Islam, kalimat “Reureuh Pageuh Teguh Rahayu” dalam istilah bahasa Sunda diubah menjadi “bi rahmatika ra arhama rohimin,” yang mana pengertiannya sama.

(Sumber: Buku Rajah Sumedang, Darsum Dipa Atmaya, dituliskan oleh Agus Mulyana, 2014)



Friday, December 25, 2015

Rajah Amitan Ka Alam Kabir Alam Sagir (3)

Rajah ini menceritakan permintaan izin pada alam kabir dan alam sagir, alam yang berisi entitas berpasangan. Untuk rajah ini, saya akan menerjemahkan rajahnya.

Seja amit ka alam kabir alam sagir alam dua papasangan
(Mohon izin ke alam kabir alam sagir alam dua berpasangan)

Ka taun dalapan, bulan dua belas, poe tujuh, dawuh lima, dulur opat kalima pancer
(Ke tahun delapan, bulan dua belas, hari tujuh, waktu lima, saudara empat kelima pusat)

Ka Cirebon Girang, Cirebon Tengah, Cirebon Hilir
(Ke Cirebon hulu, Cirebon tengah, Cirebon hilir)

Ka Embah Sunan Gunung Jati Purba
(Ke Embah Sunan Gunung Jati Purba)

Ka Ki Kuwu Sangkan Hurip
(Ke Ki Kuwu Sangkan Hurip)

Ka Sunan Gunung Jati Syech Syarif Hidayatulloh
(Ke Sunan Gunung Jati Syech Syarif Hidayatulloh)

Sareng deui ka Syech Syarif Durrahman nyaeta Sunan Kalijaga
(Juga ke Syech Syarif Durrahman yaitu Sunan Kalijaga)

Nu sanggup ngajaga beurang peuting badan kaula
(Yang sanggup menjaga siang malam badan saya)

Nyatana panangan urang sarerea
(Yaitu tangan kita semua)

Ka sukma agung, ka sukma rasa, ka sukma sari, ka sukma tunggal, sukma sajati
(Ke sukma agung, ke sukma rasa, ke sukma sari, ke sukma tunggal, sukma sejati)

Ka Dzat kang sampurna, ka roh idopi, teteger Hyang Agung, aya di sukma raga badan kaula
(Ke dzat yang sempurna, ke roh idopi, ketegaran Yang Maha Agung, ada di sukma raga badan saya)

Ku keresaning Allah
(dengan izin Allah)


Sumujud, sumerep, samaripatulloh
(sujud, menyerap, se alam makrifatullah)

(Sumber: Buku Rajah Sumedang, Darsum Dipa Atmaya, dituliskan oleh Agus Mulyana, 2014) 


Rajah Jampe Menyan Sri Pohaci (2)

Berikut ini adalah rajah kedua, Jampe Menyan Sri Pohaci. Saya akan terjemahkan semampu saya.

Salam Sang Sri syahadat sajati
(Salam Sang Sri syahadat sejati)

Saraga, sanyawa jeung badan kaula
(Seraga, senyawa dengan badan saya)

Asyhadu Alla Ilaha ilalloh, wa asyhadu anna Muhammadar Rosulullah

Bul kukus, kukus kami, kukus haji
(asap mengebul, asap dari kami, asap haji)

Asup ka para pohaci
(masuk ke para pohaci)

Nyi Pohaci Sang Hyang Sri
(Nyi Pohaci Sang Hyang Sri)

Dang dayang tresna wati
(Pengiring/pendamping tresna wati. Tresna wati ini merupakan simbol sisi feminim)

Nu nganten, nu ngajunganten, nu nganamaan inten, nu larang leuwih sorangan
(yang berdiam, mendiamkan, yang memaknakan intan, yang tabu lebih sendiri)

Nya ieu nu kasebat Batara Naga
(Ya ini yang disebut Batara Naga)

Sang Kamaherang, Sang Kamalenglang, Sang Kama Putih
(Sang Kamaherang, Sang Kamalenglang, Sang Kama Putih)

Nu linggih di tungtung ati
(Yang singgah di ujung hati)

Nu tapa di jero raga
(Yang bertapa di dalam raga)

Ngahaturkeun menyan putih sapurulukan
(Memberikan kemenyan putih setaburan)

Ka Ibu, ka Rama, ka sapucuk ning ibun
(Ke Ibu, ke Bapa, ke sepucuk inti embun)

Ka sajati ning raos
(Ke sejatinya inti nikmat)

Ka sajati ning rasa
(Ke sejatinya inti rasa)

Ka sajati ning pangawasa
(Ke sejatinya inti penguasa)

Ngirim sari kanu sakti
(Mengirim sari ke yang sakti)

Ngirim rasa kanu kawasa
(Mengirim rasa ke yang kuasa)

Ka Allah ta’alla ka Pangeran
(Ke Allah ta'alla ke Pangeran)

Ka Syech Abdul Khodir Jaelani Bagdadi
(Ke Syech Abdul Khodir Jaelani Bagdadi)

Sareng ka para karuhun sakabeh
(Juga ke para nenek moyang semua)


(Sumber: Buku Rajah Sumedang, Darsum Dipa Atmaya, dituliskan oleh Agus Mulyana, 2014) 


Rajah Pun Sampun Nya Paralun (1)

Rajah Pun Sampun Nya Paralun ini dibacakan sebagai pembuka. Intinya, dalam pembuka, Juru Rajah meminta izin kepada Sang Pencipta untuk rajah yang dilantunkan kemudian. Selain meminta izin, rajah ini menceritakan do'a yang diucapkan untuk para pendahulu, diantaranya kepada Rosul, Nabi, Wali, pelaku sejarah, dan nenek moyang. Dijelaskan juga pentingnya menelusuri sejarah, sebagai upaya untuk tetap menegakkan identitas bangsa Sunda dan budayanya. Permohonan lain dibacakan untuk yang menghuni di alam dimensi lain (alam gaib) dan yang ada di jiwa manusia. Disebutkan maksud dari semua penyebutan ini sebagai upaya agar teratur dan terjalin sehingga tidak saling menyakiti, tidak dipenuhi iri, pun dengki. 

Juru Rajah terlebih dahulu mengucapkan kata ‘Sampurasun’, yang berarti sampurna ning insun (terjemahan: sempurnalah jiwa manusia). Lalu oleh hadirin atau orang yang akan dirajah menjawab dengan kata ‘Rampes’, yang artinya reang hampura estu (terjemahan: dimaafkan oleh semuanya). Selanjutnya diteruskan dengan membaca rajah berikut. 

Pun sampun nya paralun
Ka luhur ka Sang Maha Agung
Ka handap ka Sang Batara
Ka Batara ka Batari
Ka Batara naga raja
Kula seuweu siwi Pajajaran
Seja mukakeun turub cupu nu karuhun[1]

Sanduk sanduk ka para Rosul, para Nabi, para Wali, para Karuhun sadaya, jembarna ka para Pujangga

Neda widi ka Gusti
Seja nyukcruk galur kapungkur
Mapay laratan baheula
Nu natrat dina tutulisan
Nu ka campa ku rasa
Nu ka toel ku hate
Katepi ku pikir
Kajeueung ku panempo
Pang wuwuh na basa lisan
Nu tumuwuh turun temurun
Teu ju’uh ku ci ibun
Teu luntur kuwaktu
Teu laas ku jaman
Budaya Sunda tetep ajeg
Sanajan geus rea nu leungit
Dina jiwa manusa Sunda

Pang tepungkeun jeung para lelembutan, wireh kuring kawakilan ku ...[2]

Atuh deui
Seja amitan ka para lelembutan
Nu ka kurung ku wawangunan
Bisi ka geuleuh, ka keumeuhan, ka tajong, ka koer, kagandengan, ku prilaku manusa
Kaula rek nyandak warisan manusa
Kudu runtut, paut, anut, patut ka manusa
Ulah hiri, ulang dengki, jail, kaniaya ka manusa





[1] Pada kalimat pertama pendahuluan rajah ini adalah mantra buhun. Namun untuk menghindari salah penafsiran oleh umum dan terutama agar tidak dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam, maka mantra rajah dapat diganti dengan kalimat berikut: “Pun sampun tabe paralun, ka Gusti nu ngawidi, ka Pangeran nu ngawasa, anu ngawiati tungkebing langit, anu ngaraksa tangkaring jagat, kula seuweu siwi Pajajaran, seuja mukakeun turub cupu nu karuhun”
[2] Pada tanda titik-titik tersebut dibacakan nama orang yang mempunyai hajat/kepentingan, misalnya: Pupuhu Kemendikbud, atau Pupuhu BNPB, atau nama orang tertentu.
(Sumber referensi: Buku Rajah Sumedang, Darsum Dipa Atmaya, dituliskan oleh Agus Mulyana, 2014)



Budaya Ruwatan di Sumedang

Upacara Ruwatan Silih Wawangi yang diadakan di Desa Paseh Kidul, Kecamatan Paseh, Kabupaten Sumedang pada tanggal 24 Desember 2015 kemarin, menggugah saya untuk menulis kembali di blog ini. Ditengah arus benturan keyakinan antar agama dan keragaman keyakinan di Indonesia, penting sekali untuk tetap kritis mengkaji laku budaya yang ada dan menjadi aset bangsa ini. Kritis dalam hal ini, tentu bukan untuk mempertentangkan. Kritis yang dimaksud adalah untuk mengenali, lalu memahami akar dari suatu laku budaya. 

Dalam beberapa tulisan ke depan, saya akan menyajikan tulisan mengenai rajah yang dilagukan oleh Ki Kebo Kenongo. Nama Ki Kebo Kenongo yang tertulis di KTP-nya adalah Darsum Dipa Atmaya. Beliau keturunan dari Pangeran Sito Darjo yang mewariskan rajah kepada ayahnya, Dipa Atmaya (lahir di Majalengka, 1870. Wafat di Sumedang, 1978). Beliau mempelajari rajah dari ayahnya sejak tahun 1968 dan terus menerus dibimbing semasa hidup. Disamping itu, dari ayahnya, beliau juga belajar sebagai pawang ular. Setelah ayahnya wafat, beliau menggantikan peran ayahnya sebagai Juru Rajah hingga sekarang.

Rajah yang ada dalam arsip hidup Ki Kebo Kenongo ini adalah sebagai berikut.

1.  Pun Sampun Nya Paralun
2.  Jampe Menyan Sri Pohaci
3.  Amitan Ka Alam Kabir Alam Sagir
4.  Amitan Ka Sajarah Sumedang
5.  Jampe Pangasalan Manusa
6.  Jampe Kabedasan Manusa Kakuatan Manusa
7.  Jampe Ningkatkeun Harkat Darajat Manusia (Kang Jemanten Putih)
8.  Syahadat Geni-Angin-Banyu-Bumi
9.  Jampe Asihan Cucuduk Daun Sulangkar
10. Jampe Madum Sarpin
11. Jampe Kasampurnaan (Syahadat Takobal Du’ai)
12. Syahadat Bawa Iman Sajati
13. Jampe Wudhu Sholat Gaib
14. Jampe Sholat Gaib
15. Amitan Ka Embah Puun Nu Calik di Baduy
16. Sabda Ratu Kidul
17. Kidung Rumeksa Ing Wengi
18. Kidung Pangruatan



Sebelum saya menuliskan ulang isi dari setiap rajah tersebut, saya bahas sedikit mengenai apa itu ruwatan dan rajah yang dimaksud di sini.

Ruwat dalam bahasa Jawa, sama dengan kata luwar, berarti lepas atau terlepas.Diruwat artinya dilepaskan atau dibebaskan. Pelaksanaan upacaranya disebut ruwatan, berarti melepaskan atau membebaskan, dari hukuman/akibat yang menimbulkan bahaya, malapetaka, atau keadaan menyedihkan (Koentjaraningrat, 1984).

Dari penuturan pelaku budaya ruwat, Engkong (seniman, budayawan dari Sumedang) mengatakan bahwa dalam acara ruwatan, hampir selalu ada rajah yang dilantunkan dengan nada tertentu. Menurutnya, rajah adalah eskpresi bahasa rasa/batin yang muncul sebelum manusia mengenal budaya tulis abjad. Rajah tidak terbatas pada kalimat do'a. Mewujudkan rajah menjadi serangkaian do'a hanyalah salah satu dari perwujudan akar laku rajah. Rajah bisa diekspresikan dalam bentuk simbol/tanda, gambar, atau kata-kata. Namun tentunya, setelah manusia mengenal budaya menulis abjad, makna rajah semakin mengecil dan orang awam di jaman sekarang lebih memaknakannya sebagai do'a dari nenek moyang. 

Dari ritual ruwatan yang saya lihat, ada penggunaan air, bunga 7 rupa, dan dupa/kemenyan. Menurut Ki Kebo Kenongo, ketiga unsur itu merupakan persyaratan wajib yang harus ada dalam ritual ruwatan dan pembacaan rajah. Lebih jauh, Engkong menjelaskan bahwa ritual ruwatan merupakan laku meditatif yang mempersatukan manusia (mikrokosmos), alam (makrokosmos), dan Sang Pencipta. Penggunaan air dalam ruwatan, yang tujuannya melepaskan diri dari sesuatu yang buruk, merupakan media untuk membersihkan diri. Sementara bunga dan kemenyan yang memiliki wangi dan wangi tersebut adalah unsur yang dibutuhkan untuk meningkatkan konsentrasi saat laku meditatif dilakukan. Persyaratan 7 dikenakan pada bunga sebagai simbol dari jumlah hari, yaitu 7. Rupanya selain hitungan jumlah, persyaratan warna juga masuk dalam pemilihan bunga. Warna yang harus ada adalah:
1. Putih, simbol dari unsur air
2. Merah, simbol dari unsur api
3. Kuning, simbol dari unsur angin
4. Kecoklatan, simbol dari unsur tanah
5. Biru, simbol dari langit sekaligus simbol ilmu pengetahuan
6. Kehitaman (biasanya diwakili warna bunga ungu/biru tua), simbol dari bumi sekaligus simbol kesabaran

Dari penjelasan para nara sumber dan literatur antropologi tersebut, saya mendapatkan pemahaman bahwa ruwatan dan pembacaan rajah adalah suatu ritual meditatif yang mengikat unsur kasih sayang dari diri sendiri, alam semesta, dan Pencipta. Manusia yang melantunkan rajah dan yang menghadiri adalah simbol manusia itu sendiri. Sementara unsur alam semesta dihadirkan dalam bentuk air dan bunga. Entitas wangi dijadikan pengikat atau penghubung antara manusia dan Pencipta. 

Selain itu, dalam pembacaan rajah, kecapi dan suling dimainkan oleh seniman lokal yang menjadi penentu harmoni dari rajah yang dilantunkan dengan nada tertentu. Dengan adanya alat tabuh tersebut, saya melihat setiap orang, termasuk saya sendiri, tertarik untuk mendengarkan dan meresapi makna-makna yang diucapkan Juru Rajah. 

***