Rajah ini berjudul Amitan Ka Sajarah Sumedang yang membahas cuplikan sejarah Sumedang dan sebagai tawasul kepada tokoh utama di Sumedang masa lampau. Dalam rajah ini, persembahan do'a diberikan pada para pemimpin di alam makrokosmos dan unsur kepemimpinan yang ada di dalam diri (mikrokosmos). Dalam perspektif rajah ini, pemimpin adalah orang yang memiliki iman, telah menyatu dengan makna syahadat, telah digariskan dan mendapatkan rahmat dari Tuhan. Dalam menerapkan sifat kepemimpinan, dijelaskan bahwa manusia bermain mengikuti aturan. Mempertimbangkan hal-hal tabu dan menyebarkan kasih sayang.
Penyampaian do'a ini ditujukan menembus alam nyata dan alam gaib. Dari alam manusia, ke alam neraka sampai surga, ke alam lapis tujuh, sampai singgasana sakala domas. Dalam perspektif sunda, sakala domas adalah parahyangan/tempat hyang-hyang berada atau tempat suci (Engkong, 2015).
Selain itu, dalam rajah ini, do'a ditujukan juga kepada unsur yang ada di dalam diri. Penggunaan kata aki dan nini yang ada di dalam diri adalah kakek dan nenek moyang, figur maskulin dan feminim yang telah ada di dalam jiwa. Menurut pandangan saya, dari sudut pandang modern, bagian diri yang mewakili ini adalah unsur-unsur gen yang ada dalam tubuh, warisan nenek moyang tiap orang. Dalam bagian berikutnya, do'a dipersembahkan pada 'Ratu weruh tanpa guru', yang juga ada dalam diri. Ratunya kekuatan yang ada dan hadir tanpa ada gurunya. Ditambahkan lagi, persembahan do'a diberikan pada ruang yang melingkupi jiwa manusia.
Prabu Daniswara, Resi Agung Aria Bimaraksa, Prabu
Aji Putih, Prabu Tajimalela[1]
Tetep bayu sampurna ning iman
(Teguh angin sempurna inti iman)
Tetep bayu ning syahadat rasa
(Teguh angin inti syahadat rasa)
Sri ayana saking kudratulloh
(Bagus adanya karena kudratulloh/garis takdir Allah)
Sri ayana saking rohmatulloh
(Bagus adanya karena rahmatullah/rahmat dari Allah)
Sri maya di Buana Pancatengah
Pundut larang, pundut asih, asihan Sri Rambut
Sadana
(Membawa tabu, membawa kasih, kasih Sri Rambut Sadana)
Kanjeng sinuhun panghaturkeun dahar
(Mempersembahkan terima kasih dengan menyertakan makan)
Ngirim sari menta rasa
(Mengirimkan sari meminta rasa)
Amengan ngiring aturan
(Bermain ikut aturan)
Dzat sipat kanyataan Gusti Rosululloh
(Dzat sifat kenyataan Gusti Rasulullah)
Pang nepikeun hadiah kaula
(Tolong sampaikan hadiah saya)
Ti naraka nepi ka sawarga
(Dari neraka sampai ke surga)
Ka jongjing tujuh
(Ke alam tujuh)
Gedong sakala domas
(Gedung sakala domas)
Ka nini wijiling sukma
(Ke nenek |unsur feminim tua| di dalam sukma)
Ka aki wijiling sukma
(Ke kakek |unsur maskulin tua| di dalam sukma)
Ratu weruh tanpa guru
(Ratu sakti tanpa guru)
Ka kandang kali sukma
(Ke wadah dan sukma)
Ka Eyang Anta Boga bin Abiyasa bin Adam
(Ke Eyang Anta Boga bin Abiyasa bin Adam)
Reureug Pageuh Teguh Rahayu[2]
(Lega kuat teguh rahayu)
[1] Pada bagian ini merupakan
bentuk tawasul empat orang tokoh atau leluhur utama. Dalam rangka kepentingan
masuknya pengaruh Islam, maka pada kalimat pertama bisa diubah menjadi: “Abu
Bakar – Umar – Usman – Ali, Syech Sayidina Ali tetep bayu sampurna ning iman”
dan seterusnya. Jika ruwatan dilakukan di luar Sumedang, misalnya di daerah
Galuh (Ciamis), maka kalimat rajah juga disesuaikan dengan sejarah Galuh,
sehingga tawasulan kepada empat tokoh pokok leluhur Galuh pada kalimat pertama
menjadi “Prabu Permanadikusuma, Prabu Linggawangi, Prabu Niskala Wastu Kancana,
Maha Prabu Cipta Permana, tetep bayu sampurna ning iman” dan seterusnya.
[2] Untuk kepentingan
pengaruh ajaran Islam, kalimat “Reureuh Pageuh Teguh Rahayu” dalam istilah
bahasa Sunda diubah menjadi “bi rahmatika ra arhama rohimin,” yang mana
pengertiannya sama.
(Sumber: Buku Rajah Sumedang, Darsum Dipa Atmaya, dituliskan oleh Agus Mulyana, 2014)
No comments:
Post a Comment