Friday, December 25, 2015

Budaya Ruwatan di Sumedang

Upacara Ruwatan Silih Wawangi yang diadakan di Desa Paseh Kidul, Kecamatan Paseh, Kabupaten Sumedang pada tanggal 24 Desember 2015 kemarin, menggugah saya untuk menulis kembali di blog ini. Ditengah arus benturan keyakinan antar agama dan keragaman keyakinan di Indonesia, penting sekali untuk tetap kritis mengkaji laku budaya yang ada dan menjadi aset bangsa ini. Kritis dalam hal ini, tentu bukan untuk mempertentangkan. Kritis yang dimaksud adalah untuk mengenali, lalu memahami akar dari suatu laku budaya. 

Dalam beberapa tulisan ke depan, saya akan menyajikan tulisan mengenai rajah yang dilagukan oleh Ki Kebo Kenongo. Nama Ki Kebo Kenongo yang tertulis di KTP-nya adalah Darsum Dipa Atmaya. Beliau keturunan dari Pangeran Sito Darjo yang mewariskan rajah kepada ayahnya, Dipa Atmaya (lahir di Majalengka, 1870. Wafat di Sumedang, 1978). Beliau mempelajari rajah dari ayahnya sejak tahun 1968 dan terus menerus dibimbing semasa hidup. Disamping itu, dari ayahnya, beliau juga belajar sebagai pawang ular. Setelah ayahnya wafat, beliau menggantikan peran ayahnya sebagai Juru Rajah hingga sekarang.

Rajah yang ada dalam arsip hidup Ki Kebo Kenongo ini adalah sebagai berikut.

1.  Pun Sampun Nya Paralun
2.  Jampe Menyan Sri Pohaci
3.  Amitan Ka Alam Kabir Alam Sagir
4.  Amitan Ka Sajarah Sumedang
5.  Jampe Pangasalan Manusa
6.  Jampe Kabedasan Manusa Kakuatan Manusa
7.  Jampe Ningkatkeun Harkat Darajat Manusia (Kang Jemanten Putih)
8.  Syahadat Geni-Angin-Banyu-Bumi
9.  Jampe Asihan Cucuduk Daun Sulangkar
10. Jampe Madum Sarpin
11. Jampe Kasampurnaan (Syahadat Takobal Du’ai)
12. Syahadat Bawa Iman Sajati
13. Jampe Wudhu Sholat Gaib
14. Jampe Sholat Gaib
15. Amitan Ka Embah Puun Nu Calik di Baduy
16. Sabda Ratu Kidul
17. Kidung Rumeksa Ing Wengi
18. Kidung Pangruatan



Sebelum saya menuliskan ulang isi dari setiap rajah tersebut, saya bahas sedikit mengenai apa itu ruwatan dan rajah yang dimaksud di sini.

Ruwat dalam bahasa Jawa, sama dengan kata luwar, berarti lepas atau terlepas.Diruwat artinya dilepaskan atau dibebaskan. Pelaksanaan upacaranya disebut ruwatan, berarti melepaskan atau membebaskan, dari hukuman/akibat yang menimbulkan bahaya, malapetaka, atau keadaan menyedihkan (Koentjaraningrat, 1984).

Dari penuturan pelaku budaya ruwat, Engkong (seniman, budayawan dari Sumedang) mengatakan bahwa dalam acara ruwatan, hampir selalu ada rajah yang dilantunkan dengan nada tertentu. Menurutnya, rajah adalah eskpresi bahasa rasa/batin yang muncul sebelum manusia mengenal budaya tulis abjad. Rajah tidak terbatas pada kalimat do'a. Mewujudkan rajah menjadi serangkaian do'a hanyalah salah satu dari perwujudan akar laku rajah. Rajah bisa diekspresikan dalam bentuk simbol/tanda, gambar, atau kata-kata. Namun tentunya, setelah manusia mengenal budaya menulis abjad, makna rajah semakin mengecil dan orang awam di jaman sekarang lebih memaknakannya sebagai do'a dari nenek moyang. 

Dari ritual ruwatan yang saya lihat, ada penggunaan air, bunga 7 rupa, dan dupa/kemenyan. Menurut Ki Kebo Kenongo, ketiga unsur itu merupakan persyaratan wajib yang harus ada dalam ritual ruwatan dan pembacaan rajah. Lebih jauh, Engkong menjelaskan bahwa ritual ruwatan merupakan laku meditatif yang mempersatukan manusia (mikrokosmos), alam (makrokosmos), dan Sang Pencipta. Penggunaan air dalam ruwatan, yang tujuannya melepaskan diri dari sesuatu yang buruk, merupakan media untuk membersihkan diri. Sementara bunga dan kemenyan yang memiliki wangi dan wangi tersebut adalah unsur yang dibutuhkan untuk meningkatkan konsentrasi saat laku meditatif dilakukan. Persyaratan 7 dikenakan pada bunga sebagai simbol dari jumlah hari, yaitu 7. Rupanya selain hitungan jumlah, persyaratan warna juga masuk dalam pemilihan bunga. Warna yang harus ada adalah:
1. Putih, simbol dari unsur air
2. Merah, simbol dari unsur api
3. Kuning, simbol dari unsur angin
4. Kecoklatan, simbol dari unsur tanah
5. Biru, simbol dari langit sekaligus simbol ilmu pengetahuan
6. Kehitaman (biasanya diwakili warna bunga ungu/biru tua), simbol dari bumi sekaligus simbol kesabaran

Dari penjelasan para nara sumber dan literatur antropologi tersebut, saya mendapatkan pemahaman bahwa ruwatan dan pembacaan rajah adalah suatu ritual meditatif yang mengikat unsur kasih sayang dari diri sendiri, alam semesta, dan Pencipta. Manusia yang melantunkan rajah dan yang menghadiri adalah simbol manusia itu sendiri. Sementara unsur alam semesta dihadirkan dalam bentuk air dan bunga. Entitas wangi dijadikan pengikat atau penghubung antara manusia dan Pencipta. 

Selain itu, dalam pembacaan rajah, kecapi dan suling dimainkan oleh seniman lokal yang menjadi penentu harmoni dari rajah yang dilantunkan dengan nada tertentu. Dengan adanya alat tabuh tersebut, saya melihat setiap orang, termasuk saya sendiri, tertarik untuk mendengarkan dan meresapi makna-makna yang diucapkan Juru Rajah. 

***     

3 comments:

  1. Budaya leluhur adalah saling mengasihi sesama manusia dan alam, serta mendekatkan diri pada sang pencipta dan penguasa alam semesta, tanpa memandang suku, agama, ras dan derajat. Di hadapan sang pencipta, kita semua sederajat.

    ReplyDelete